Aliran SENI Klasikisme adalah aliran yang menampilkan gambar secara klasik, serta memiliki karakter dan ciri tersendiri. Aliran ini biasanya mengacu keras pada bangsa Yunani dan Romawi. Aliran klasikisme ini sangat diminati dikarenakan memiliki arsitektur unik, klasik dan dianggap sebagai arsitektur yang bermutu tinggi, sehingga gaya baru neo klasikisme seakan hilang dan aliran klasikisme semakin kuat. Ciri-ciri SENI Klasikisme Lukisan terikat pada norma-norma intelektual akademis. Bentuk selalu seimbang dan harmonis. Batasan-batasan warna bersifat bersih dan statis. Raut muka tenang dan berkesan agung. Berisi cerita lingkungan istana. Cenderung dilebih-lebihkan. Tokoh-Tokoh Seniman Klasikisme Bartholome Vignon 1762 – 1846 Leonardo Da Vinci Michel Angelo Jaques Lovis David 1974 – 1825 Jan Ingles 1780 – 1867 Contoh Lukisan Klasikisme Aliran SENI Neo Klasikisme Aliran Neo Klasikisme adalah gerakan untuk mempertegas kembali neo kepada aliran klasikisme, yaitu aliran baru yang meningkatkan segala aspek pada aliran klasikisme. Aliran Neo Klasikisme ini muncul pertama kali di Prancis yaitu pada awal Revolusi Perancis pada sekitar tahun 1789, itulah yang menjadi titik akhir kekuasaan feodalisme di Perancis yang sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan aliran seni di dunia. Revolusi Perancis ini tidak hanya merubah tata politik, tata sosial, tetapi juga berpengaruh pada bidang kesenian. Salah satunya yaitu pengaruh raja atas perkembangan seni telah berakhir. Hal lain yang juga menguatkan ialah pengaruh gereja terhadap penciptaan seni telah melemah. Hubungan gereja dengan seniman tidak lagi terjalin kuat. Di samping itu, muncul pengelompokan dalam kehidupan budaya yaitu kelompok seniman, industriawan, ilmuwan, pekerja dan buruh pabrik. Mengenai klasifikasi aliran Neo-Klasikisme dalam sejarah seni rupa, terdapat perbedaan pendapat diantara pada ahli. Kadang-kadang aliran Neo-Klasikisme dianggap sebagai bagian dari aliran Romantikisme. Namun pada dasarnya terdapat perbedaan di antara kedua aliran tersebut. Ciri-ciri Seni NeoKlasikisme Nuansa perang yang berlebihan Bentuknya seimbang dan harmoni Serta batasan warna bersifat bersih Tokoh-Tokoh Seni NeoKlasikisme Jacques Louis David Watte Jean-Auguste-Dominique Ingres Angelica Kauffman Girodet Thomas Jefferson Contoh Lukisan Seni NeoKlasikisme Semoga Bermanfaat.
| Зоψեфиме ጩи | Эλиբуፆувυ ուтазэ |
|---|---|
| Итиш дрፒւутв сቩ | Даጧ አτθςатոρе |
| ኾюዲωρос асвωգոвр εхр | Ωጨоνፆф մоνаሮастሮ е |
| Воբቮй паτаሐ | Щажአጭዖ ሗщሜзሓզа |
The current Balinese culture is the result of the acculturation of the local culture and those that come from outside the island. The acculturation process brings about a variety of styles and ornamental hybrids that can be identified apparently in architecture, dance, clothing, and of course visual art. This paper attempts to find out the spirit of the transformation by reading the history of art. The aesthetics of Balinese visual art is based on the combination concept of the classical Balinese painting and the Western modern art movements. The study is done by studying the achievements accomplished by the Pita Maha. Significant changes have taken place in the framework of Balinese art. From the technical point of view, the introduction of paper, plywood and canvas as painting media provides new stylistic opportunities. Meanwhile from the thematic perspective, secularization of representation occurs; it no longer performs the religious function but holds an economic value. Strong influence of modern science is seen at the organization of space in the composition, perspective and anatomical consideration. Wayang shadow puppet figures are not dominated by formal form anymore. Keywords Balinese Art, Classical Art Kamasan, Puppet, Acculturation, Pita Maha. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free AbstrActe current Balinese culture is the result of the acculturation of the local culture and those that come from outside the island. e acculturation process brings about a variety of styles and ornamental hybrids that can be identied apparently in architecture, dance, clothing, and of course visual art. is paper attempts to nd out the spirit of the transformation by reading the history of art. e aesthetics of Balinese visual art is based on the combination concept of the classical Balinese painting and the Western modern art movements. e study is done by studying the achievements accomplished by the Pita Maha. Signicant changes have taken place in the framework of Balinese art. From the technical point of view, the introduction of paper, plywood and canvas as painting media provides new stylistic opportunities. Meanwhile from the thematic perspective, secularization of representation occurs; it no longer performs the religious function but holds an economic value. Strong inuence of modern science is seen at the organization of space in the composition, perspective and anatomical consideration. Wayang shadow puppet gures are not dominated by formal form Balinese Art, Classical Art Kamasan, Puppet, Acculturation, Pita ragam budaya Bali yang kini berkembang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah Bali masa lampau. Kesenian Bali bertautan erat dengan upacara agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Semua bentuk kesenin di Bali pada mulanya ada kecenderungan untuk menunjang dan mengabadikan kehidupan upacara keagamaan Hindu di Bali. Begitu pula pada kehidupan seni lukisnya yang juga memiliki andil besar terutama dalam upacara-upacara agama Hindu di tempat-tempat pemujaan yang terdapat di seluruh pelosok daerah Bali. Lukisan dianggap sebagai dasar dan bentuk ekspresi kesenian tinggi di Bali. Karya seni tersebut menjadi artefak yang sangat berharga dalam kehidupan ritual dalam tradisi Bali. Artefak ini sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan rohania tentu saja dalam hal pembuatannya baik yang menyangkut penentuan bentuk maupun pemilihan dekorasinya akan terikat oleh adanya aturan-aturan tertentu yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Sebagian dari hal ini disebabkan karena pentingnya upacara tradisional dan hiasan di masa lalu yang merupakan semacam dokumentasi mitologi dan keagamaan. Budaya Bali sekarang adalah hasil akulturasi budaya lokal dan budaya yang datang dari luar Bali sehingga dapat dilihat beragam gaya dan ornamentik dari berbagai pencampuran tersebut dapat dilihat pada arsitektur, tarian, pakaian hingga seni rupanya. Mengenai pencampuran kebudayaan ini seperti yang diungkapkan Timbul Haryono bahwa kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa pada umumnya Pita Maha Koalisi’ EstEtiK sEni luKis KlasiK Bali dEngan sEni RuPa ModERni gEdE aRya sucitRa A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 6Nomor XV / Januari - April 2012dapat disebut maju atau berkembang, apabila di dalamnya terdapat anasir budaya baru. Tumbuhnya anasir budaya baru itu bisa terjadi karena dua kemungkinan, yaitu karena ada penemuan invensi atau karena ada pencampuran akulturasi. Terjadinya proses akulturasi juga disebabkan oleh karakter masyarakat penyangga kebudayaan tersebut, Soedarsono berpendapat bahwa masyarakat Bali sangat dikenal sebagai masyarakat yang sangat terbuka, namun juga sangat kreatif. Pengaruh dari luar seperti apapun setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu lebih berciri Bali. Pada titik ini dapat dicermati bahwa dengan keterbukakaan kreatifnya’ masyarakat Bali mampu menyelaraskan kebudayaan luar yang masuk dan disesuaikan dengan kekayaan lokal jenius ahli yang mengkaji hal ini, menegaskan bahwa unsur dari luar menjadi faktor dominan dalam pembentukan budaya Bali. Dijelaskan oleh Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia terjemahan Soedarsono bahwa penyebaran ini dibawa langsung oleh para pendeta atau biarawan dari India, dan juga tercampur lewat kontak dengan kerajaan Hindu di Jawa. Hal itu ditambah dengan kontak-kontak dengan Cina dan beberapa daerah di India Belakang Asia Tenggara mungkin telah menyumbangkan pembentukan kebudayaan Bali dan seninya. Sedemikian besar pengaruh kebudayaan Hindu Jawa pada kebudayaan Bali khususnya dalam seni lukis. Menurut data arkeologis, seni rupa prakolonial Bali adalah warisan dari tatanan ideo-religius budaya agraris Hindu-Buddha yang berkembang di Bali sejak paling sedikit abad ke-10, ketika didirikan kerajaan-kerajaan “ter-India-kan” yang pertama. Sementara seni lukis baru dikenal sekitar abad ke-11, ketika sejumlah prasasti yang dikeluarkan ¬oleh Raja Anak Wungsu memberikan tanda-tanda adanya kelompok yang mempunyai kelompok yang mempunyai keahlian melukis. Dalam analisa Jean Counteau, seorang antropolog dari Prancis, ragam budaya Bali pra-penjajahan merupakan pembauran antara unsur pribumi lokal dengan aneka unsur Indo-Jawa, yang terutama masuk menyusul invasi Majapahit tahun 1343. Selanjutnya bentuk seni rupa di Bali mengalami perkembangan yang berbeda dengan daerah di Jawa. Bentuk perubahan ini bersifat sebagai penyesuaian terhadap karakter orang Bali yang ekspresif, dengan kasar dalam lelucon serta bersungguh-sungguh; mewah dengan warna-warna emas dan terang musiknya, walaupun kaya dan melodis, adalah karakteristik eksplosif meledak-ledak. Dalam pandangan Alvin Bosko ada dua teori tentang perubahan sosial budaya, yaitu teori-teori eksternal dan internal. Teori eksternal memandang bahwa inti terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh adanya kontak antar-budaya berbeda, sedangkan perubahan internal disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari dalam masyarakat itu sendiri. Untuk menguatkan pandangan di atas, William A. Haviland mengemukakan bahwa mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayaan antara lain adalah akulturasi. Seiring perkembangan kebudayaan dan pengaruh dari luar tersebut, maka berkembang pula teknis penciptaan, bentuk, fungsi dan makna dari lukisan tradisional Bali. Pokok permasalahan tulisan ini akan melacak perkembangan dan menganalisa proses akulturasi estetik antara seni lukis Bali klasik gaya Kamasan dengan persentuhan pengetahuan seni rupa modern yang diperkenalkan pelancong Barat yang masuk melalui proses kolonisasi penjajahan Belanda pada awal abad ke-20. Selanjutnya akan ditemukan varian-varian turunan seni rupa di Bali dan dengan segala perbedaan konsep, tema, material lukis hingga teknis penciptaannya. Perpaduan ini kemudian melahirkan seni lukis Pitamaha yang Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 7Nomor XV / Januari - April 2012berkembang pesat pada era 1930-an di desa Ubud, Gianyar seni ruPa klasik BaliUntuk mengetahui perkembangan kesenian di desa Kamasan, dapat diamati pada peninggalan artefak sebagai bukti perjalanan kebudayaan di desa tersebut. Berdasarkan bukti arkheologis yang ditemukan seperti tahta-tahta batu, menhir, lesung batu, palungan batu, monolith yang berbentuk silinder, batu dakon, lorong-lorong jalan yang dilapisi batu kali, ditemukan tersebar di desa-desa Kamasan dan sekitarnya seperti Tojan, dan Gelgel. Hal ini menandakan bahwa, komunitas di sekitar Kamasan berumur cukup tua, serta menunjukkan juga bahwa ketrampilan teknik tradisi megalithik telah mereka kenal sebelum kedatangan pengaruh Hindu. Ketrampilan para undagi dan ke-pande-an yang berasal dan tradisi megalithik ini telah diturunkan kepada generasi berikutnya. Pada jaman Gelgel, oleh raja Gelgel Ida Dalem para pande dimanfaatkan untuk memproduksi benda-benda logam berukir seperti bokor, dulang, pinggan, tempat minum dan benda-benda lainnya yang digunkan sebagai perlengkapan rumah tangga, perhiasan maupun benda-benda perlengkapan Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel. Selain seni ukir berkembang pula seni lukis wayang sebagai hiasan di atas kain yang berupa bendera Kober, umbul-umbul, lontek, dan hiasan ider-ider, tabing dan parba. Lebih jelas lagi dengan adanya tulisan yang menyebutkan bahwa pada waktu Dalem Ketut Semara Kepakisan Raja Bali setelah mengikuti upacara Sradda di Majapahit pada tahun 1362 membawa sekeropak Wayang kesenian. Seni tari topeng dan wayang disebut dengan istilah Parbhyang Prasasti Benetin bertahun Saka 818 atau 896 Masehi dan juga istilah Aringgit pada masa raja Anak Wungsu, 1045-1071 Masehi. Istilah tersebut tidak jauh beda dengan istilah bahasa Jawa halus untuk wayang, juga disebut Ringgit. Pada salah satu prasasti itu terdapat goresan bermotif wayang yang menggambarkan ¬Batara Siwa. Perkembangan seni lukis ini selanjutnya terlihat nyata pada naskah-naskah ¬kuno yang berupa lontar-lontar. Kitab lontar biasanya berisikan cerita legenda ataupun cerita wayang, dengan menggunakan ilustrasi gambar yang selalu tampil indah. Gaya yang dipakai ialah seperti tampak pada pahatan dinding candi zaman Majapahit, yaitu gaya wayang dengan komposisi bidang datar yang padat dan sarat stilisasi. Gaya lukis pada lontar inilah yang rupanya menjadi cikal bakal perkembangan seni lukis Bali klasik. Seni lukis yang dikenal pada waktu itu didominasi oleh genre wayang’; yaitu merupakan ilustrasi naratif baik cerita maupun ikonogranya diturunkan langsung dari kesenian wayang. Seni lukis tradisional yang paling menonjol sampai saat ini di Bali adalah seni lukis klasik gaya Kamasan. Pelukis-pelukis Kamasan biasanya anonim dan merupakan pusat kesenian tradisional Bali yang berhubungan dengan pahlawan-pahlawan epos seperti Arjuna, Rama, Abimanyu, dan Hanuman. Fokus dari lukisan mereka terutama pemandangan-pendangan atau episode yang membawakan pesan-pesan orang suci, keberanian, kekuatan, peperangan, pembaktian diri dan kebijaksanaan yang banyak terdapat dalam Mahabharata dan Ramayana. Fungsi dari seni lukis pada waktu itu terutama untuk kepentingan adat, pura dan puri. Seni lukis dipersembahkan untuk hiasan pura, ritual agama, balai adat, serta untuk menghias tempat tinggal raja dan punggawa. Tema lukisan dari cuplikan epos Ramayana, Mahabrata, cerita legenda setempat seperti Malat Panji, Cupak Grantang, Calonarang serta sejumlah cerita tantri lainnya. Di wilayah Bali Aga di Karangasem, tepatnya di desa Julah, berkembang seni lukis wayang Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 8Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modernyang bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan seni wayang Kamasan. Di Ubud seni lukis klasik yang berkembang sangat menyerupai seni lukis wayang Kamasan. Sekitar pertengahan abad ke-19 di desa Kerambitan berkembang seni lukis wayang yang menampilkan bentuk dan ekspresi wajah yang kuat dengan pemanjangan pada bentuk kaki dan tangan sehingga menjadi berbeda dengan gaya dari segi motif lukisannya menekankan pada motif wayang dengan corak yang bersifat dekoratif. Dengan latar belakang sosiokultural dan religius masyarakat Hindu yang dibawa Majapahit, masyarakat mendapatkan pengalaman estetiknya lewat ritual upacara dan cerita-cerita dari kitab ajaran yang menjadi pedoman dalam kehidupan tiap anggota masyarakatnya. Karya-karya yang ditampilkan merupakan ilustrasi naratif baik cerita maupun ikonogranya diturunkan langsung dari kesenian wayang. Kebudayaan tradisional yang bersifat kolektif di Bali menghasilkan karya-karya seni rupa yang bersifat simbolis dan bernilai sakral. Di Bali lukisan tradisional merupakan bagian dari berbagai upacara Punca Yadnya yang diterapkan pada Tubing, Ider-ider, Langse serta Kober, demikian juga halnya dengan lukisan wayang klasik gaya Kamasan, serta Rerajahan yang biasanya dikerjarupakan oleh sangging sehingga karya tersebut punya nilai taksu. Pelukis termasyur yang melukis dengan gaya klasik adalah Nyoman Mandra dari tradisional/klasik masih merupakan tradisi yang hidup di kalangan seniman-seniman di desa-desa seperti Kamasan Klungkung, Amlapura Karangasem, Krambitan Tabanan, Nagasepaha Buleleng, Bedahulu, Pengosekan, dan Sebatu Gianyar.Berikut beberapa karya lukisan Klasik Bali gaya Kamasan. A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 9Nomor XV / Januari - April 2012LAhirnyA PitA MAhA sebuAh KoALisi estetiK yAng eLegAnGelombang perubahan pada Seni Rupa Bali pada dekade awal abad ke-20 memasuki dunia baru dengan kedatangan bangsa Barat yang masuk lewat kolonisasi oleh Belanda. Bila dirunut lebih jauh masuknya pengaruh bangsa asing dimulai dengan invasi Belanda di Bali, Belanda sejak awal abad ke-19 berusaha menguasai Bali lewat ikatan-ikatan perjanjian dengan raja-raja dan perorangan atas kekuasaannya. Setelah Belanda melakukan penaklukan raja-raja di Bali pada tahun 1845 hingga 1908 yang kemudian membuka celah perubahan seluruh landasan sosial politik seni rupa prakolonial Bali. Diberlakukannya politik ekonomi liberal sekitar tahun 1870-an oleh pemerintah Hindia Belanda, mendorong kemakmuran bagi kelompok masyarakat Belanda hal ini menimbulkan beberapa perubahan pada kehidupan kesenian di Bali yang mengalami kecendrungan untuk lebih terbuka dengan banyak hal baru yang dibawa bersama kedatangan bangsa asing. Dampak penaklukan Bali oleh Belanda langsung terasa pada seni rupa. “Pasaran” baru terbuka produksi bertambah secara drastis melampaui permintaan religius dan kuasi-religius prakolonial. Dan oleh karena “pasaran” tidak lagi membutuhkan simbol-simbolagama, tema-tema langsung berubah. Selain itu, oleh karena bahan dan alat baru untuk memperkaya teknik melukis dan efektivitas mulai beredar, dinamika stilistik pada karya seniman pribumi dipercepat. Semakin Bali di-bali-kan. Semakin siap dikonsumsi. Evolusi seni rupa Bali dimulai di Buleleng Bali Utara, meski menyangkut segi yang sekunder. Pada awal abad ke-19 sudah dibuat gambar dari kertas yang hanya berisi satu adegan saja dan bukan narasi lengkap yang menampilkan serentet aneka adegan naratif. Pada akhir abad ke-19 di Singaraja, Van Der Tuuk, seorang ahli linguistik Belanda, memesan beberapa gambar pada beberapa informannya, dan gambar tersebut sudah memperlihatkan awal dari strukturasi ruang, menggantikan penempatan unsur ikonik secara sejajar, baik horizontal maupun vertikal. Pada awal abad ke-20 pematung-pematung Buleleng sudah menempatkan unsur tematika baru misalnya orang bersepeda dalam ukiran relief puranya. Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa ModernGambar 1. gambar di halaman sebelah Lukisan gaya Kamasan, “Kematian Abimayu”, akhir abad ke-19, bahan tradisional, 100x106 cm. Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 13.Gambar 2. gambar di halaman sebelah Karya I Nyoman Mandra, 1972, “The Death of Subali”, tinta Cina dan pewarna alami di kain, 71 x cm. Garrett Kam,1993, 138.Gambar 3. atas Gambar Palalintangan ilmu perbintangan, karya I Gusti Mangku Putu Kebyar, 1991. Garrett KAM,1993, 35.Gambar 4. bawah Lukisan dari bagian Palalindon ilmu mengenai gempa bumi yang merupakan bagian ilustrasi dari langit-langit Bale Kerta Ghosa, Klungkung. Garrett Kam,1993, 49. A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 10Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa ModernHal-hal itu sudah memperlihatkan meresapnya unsur-unsur baru pada tatanan seni rupa awal abad ke-20, akhir dasawarsa ’20-an, serta dasawarsa ’30-an, ditengarai terjadi suatu fenomena unik, yaitu intervensi langsung dari seniman Barat yang kelak akan memberikan corak tersendiri pada perkembangan seni pedesaan Bali selanjutnya. Mitos Bali sebagai “surga” dengan berbagai macam sebutan eksotisnya seperti Adrian Vickers “ Bali Paradise Created” mengatakan sebuah pulau surga terakhir’ yang memiliki masyarakat artistik yang harmoni dengan alam, atmosfer hidup yang erotik,….pulau tereksotik dari yang paling eksotik se Asia-Pasik. Peneliti asing dan juga seorang pelukis, budayawan Meksiko, Miguel Covarrubias juga melakukan penelitian yang sangat detail lengkap dengan ilustrasi gambar tangan dan fotogra terutama mengenai pola hidup, kesenian hingga religi masyarakat Bali dalam buku yang sangat melegenda yaitu “Island of Bali”. Daya pukau dari Bali yang dieksotikkan oleh citra wisata kaum kolonial tersebut menarik penjelajahan beberapa seniman asing mulai datang dan menetap, hidup dan berinteraksi dengan para seniman lokal di Bali. Dan diantaranya yang paling terkenal dan berproses kreatif bahkan menetap di Bali adalah gur Walter Spies warga Jerman 1895-1942 dan Rudo Bonnet warga Belanda 1895-1978 yang keduanya akan memainkan peran yang menentukan dalam evolusi seni Bali selanjutnya. Spies datang ke Bali pada tahun 1927 yang disusul setahun kemudian oleh Bonnet. Spies dan Bonnet tinggal di tengah masyarakat Ubud di bawah naungan puri Ubud, Gianyar. Di dalam situasi tersebut dan sebagai seniman, mereka menyaksikan secara langsung perkembangan seni komersial di atas kemerosotan mutunya. Maka lahirlah gagasan untuk membangun dua lembaga yang mampu membantu mengembangkan kesenian Bali sesuai bentuknya dan menjaganya dari kerusakan pengaruh turisme. Hal pertama adalah membangun museum Bali yang kini bernama Museum Puri Lukisan berlokasi di Ubud selain sebagai tempat pelestari budaya Bali juga memilih karya-karya terbaik seniman Bali. Kemajuan perupa Bali dibawah asuhan Walter Spies dan Rudolf Bonnet memberikan inisiatif kepada tokoh budayawan dan seniman antara lain Cokorda Gde Agung Sukawati, Walter Spies dan Rudolf Bonnet untuk membentuk perkumpulan dengan nama Pita Maha yang didirikan pada tanggal 29 Januari 1936 di Ubud. Mereka menyebutnya sebagai the spiritual home of modern art. Figur Walter Spies dan Rudolf Bonnet dianggap guru’ oleh seniman Bali tradisional. Kedekatan antara mereka dengan seniman lokal khususnya Gusti Nyoman Lempad yang merupakan tetangga dari Walter Spies di desa Ubud, menciptakan suasana kreatif estetik. Dimulai dengan pertemanan, lalu mulai melukis dari obyek yang bersamaan mereka mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Seperti yang disampaikan oleh Soedarsono di atas perihal karakter orang Bali yang sangat terbuka dan kreatif, proses transfer ide dan gagasan dalam menilai karya seni antara seniman asing dan seniman lokal terjadi sangat intens dan intim, seni rupa Bali mulai berubah kearah modern. Interaksi persahabatan itu menimbulkan suasana saling memotivasi dalam proses kreatif dua sahabat itu selanjutnya. Rudolf Bonnet banyak memberikan pengetahuan tentang anatomi, komposisi warna dan teknik, sedangkan Walter Spies lebih banyak memberi pengaruh pada bidang ora yaitu pada bentuk pohon yang tumbuh di alam sehingga gaya lukisan lebih naturalistik, namun juga memberikan teori modern Barat, pemberian material seni rupa, bantuan pemasaran dan nasehat sesaat. Hal ini kelak menandakan suatu A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 11Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modernperubahan tematik yang mendasar pada dunia seni lukis Bali. Berikut di bawah ini dapat dilihat karya-karya dari dua pelukis Eropa di atas yang sudah mengadaptasikan lingkungan budaya sekitar Bali melalui media lukisan dengan teknik melukis modern pembaharuan Pita Maha bimbingan Spies dan Bonnet menurut Jean Couteau menghasilkan puluhan seniman bermutu, terbagi dalam beberapa aliran pedesaan, yang mencakup baik seni patung maupun seni lukis antara lain Aliran seni ukir “halus”, aliran seni lukis Ubud, aliran seni lukis Batuan, aliran gaya Pita Maha juga berkembang Sanur dengan gaya lukisan yang terinspirasi oleh laut dan kehidupan sehari-hari. Salah satu ideologi yang ditawarkan Spies dan Bonnet melalui Pita Maha adalah perluasan dalam horizon penciptaan. Jika sebelumnya pada ideologi seni lukis klasik Kamasan, tema lukisan seputar mitologi, kesucian dan spiritualitas, lalu oleh Pita Maha bahwa tema seni lukis Bali tidak harus berputar kepada mitologi, tidak semustinya terkungkung oleh kekhusyukan religi. Bahwa seni Lukis Bali seharusnya memiliki sifat individual sebagaimana kaum modernis Eropa dan Amerika menawarkan secara konsepsual. Dan bahwa seni lukis Bali boleh saja sekuler. Kelompok Pita Maha ini menghasilkan pelukis-pelukis “tradisional modern” seperti , Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus made Nadera, sampai Ketut Regig. Bahkan sebagian nampak “sangat modern” sebagaimana yang dipresentasikan oleh Anak Agung Gde Sobrat, Ketut Regig dan Dewa Putu Bedil. Aktivitas Pita Maha praktis berhenti ketika perang dunia II meletus dan memaksa Rudolf Bonnet melarikan diri dari Bali akibat diusir bangsa Jerman dan Walter Spies wafat di laut Makasar akibat kapalnya di bom Jepang pada 1942. Transformasi terjadi di dalam kontinuitas, denyut nafas Pita Maha sempat diperpanjang staminanya oleh kehadiran Golongan pelukis Ubud tahun1956, sempat disela oleh “ideologi” seni lukis lain seperti Young Artis di Penestanan asuhan Arie Smith tahun 1960. Pada generasi tahun 1980-an lahirlah era seni lukis pasca Bonnet yaitu Pita Prada. Munculnya aliran baru Gambar 5. Karya Rudolf Bonnet “Arjuna Wiwaha” 1953, pastel pada kertas, 88 x 74 cm. Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 2007, 68.Gambar 6. Karya Walter Spies “Die Landschaft und ihre Kinder” cat minyak pada papan, 62 x 91 cm. M. Agus Burhan, 2008, 35. A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 12Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modernini berusaha menyingkirkan bayang-bayang Pita Maha dengan cara mencari identitas personal dengan berguru kepada situasi dunia modern yang dipenuhi teknologi informasi. Berikut beberapa karya-karya seniman Pita 8. Karya I Gusti Ketut Kobot, 1953, “Coiled by the Serpent Lasso”, tinta dan tempera di kertas, 53 x 73 cm. Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 14.Gambar 9. atas Karya Anak Agung Gde Sobrat, 1970, “Bumblebee Dance”, tinta dan tempera di kanvas, 97 x 132 cm. Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 22.Gambar 10 bawah. Karya Dewa Putu Bedil, 1975, “Ritual Flirtation Dance”, akrilik di kanvas, 85 x 135 cm. Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 21.Gambar 7. Karya I Gusti Nyoman Lempad, 1930-an, “The Children Distrub Mother Brayut”, Tinta dan tempera di kertas, 24 x 33 cm. Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 68. A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 13Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa ModernkesimPulanDari deskripsi di atas, tampak selama abad ke-20 seni rupa Bali telah mengalami perubahan dengan masuknya kebudayaan luar terutama akibat intervensi penjajah Belanda. Akulturasi tersebut mengakibatkan perombakan besar-besaran pada sistem formal dan tematis melalui beberapa tahap. Perombakan itu berupa asimilasi langsung, atau tidak langsung dari elemen bahasa formal Barat, baik dalam ragam realis analitis maupun dalam aneka ragam modernisme sehingga melahirkan gerakan organisasi Pita melihat cikal bakal seni lukis Bali melalui seni lukis klasik yang hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan. Adapun seniman pada masa tersebut sebagai manipulator lambang dan fungsi agama, selain harus ditasbih dengan pembaiatan tersendiri, dapat dapat mulai berkarya tanpa mempertimbangkan “dewasa” positif dan negatif serta melakukan upacara kecil terkait. Pada sisi kebentukan formal, karya klasik memiliki tatanan estetik yang baku ruang penuh, ikon, dan subikon Gambar 11. Karya I Gusti Nyoman Lempad, 1939, “Protection of The Barong” Tinta dan tempera di kertas, 24 x 33 cm. Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 67. A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 14Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modernterpatron dan terulang-ulang, warna stabil dan dibatasi kontur, garis terkekang konsep seni lukis klasik Bali diperbandingkan dengan pencapaian pada gerakan Pita Maha telah terjadi perubahan penting pada tatanan seni rupa Bali, yakni dari sudut teknis, pengenalan media kertas, triplek dan kanvas membuka peluang stilistik yang baru. Tampak pada ukuran lukisan yang berubah; ider-ider, langse dan lukisan lainnya berukuran kecil, narasinya cenderung terfokus pada adegan tunggal. Dari sudut tematis, terjadi sekulerisasi dari representasi, tidak lagi memiliki fungsi religious dan mengandung nilai ekonomis. Objek mengambil kehidupan sehari-hari, alam, tarian dan ritual harian lainnya. Pengaruh pengetahuan modern yang kuat tampak pada terorganisirnya ruang dalam komposisi, mempertimbangkan perspektif dan anatomis. Figur wayang tidak mendominasi wujud formal. Namun akulturasi yang terjadi pada gaya Pita Maha bersifat terbatas. Unsur local genius yakni pada sisi landasan cerita dari epos Mahabrata, Ramayana, cerita Panji tetap menjadi daya tarik yang selalu disisipkan pada materi narasi karya seniman Pita akhir1. Timbul Haryono, Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni Surakarta ISI Solo Press, 2008, Joseph Fischer, “Persoalan-persoalan dan Kenyataan-kenyataan dalam Kesenian Bali Modern”, dalam Joseph Fischer, Modern Indonesian Art ree Generation of Tradition and Change 1945-1990 Jakarta and New York Panitia Pameran KIAS 1990-91 and Festival of Indonesia, 1990, Timbul Haryono, “ Sekilas Tentang Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tradisional di Jawa Studi Kasus Seni Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa”, dalam Timbul Haryono, ed., Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu, Jakarta Wedatama Widya Sastra, 2009, 2. 4. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Edisi ketiga yang diperluas Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2002, Istilah tersebut memiliki pengertian sebagai kemampuan kebudayaan setempat local dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah suatu proses akulturasi Noerhadi Magetsari, 1986.6. Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. Soedarsono Bandung MSPI, 2000, 242, baca lebih lanjut pada bab 7 mengenai Seni Plastis Bali Tradisi Dalam Claire Holt, Alvin Bosko, “Recent eories of Social Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Bosko, ed., Sociology and History London e Free Press of Glencoe, 1964, 143-147. 9. Willian A. Haviland, Antropologi, jilid. 2, terj. Sukadijo Jakarta Erlangga, 1988, Eka Suprihadi dan Nunung Nurdjanti “ Vibrasi Seni Lukis Kamasan”, Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 2006, I Made Kanta, Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan Denpasar Proyek Sasana Budaya Bali, 1977/78, Wiyoso Yudoseputro, “Seni Rupa Klasik” dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al., ed., Perjalanan Seni rupa Indonesia Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991, Jean Couteau, “Wacana Seni Rupa Bali Modern”, dalam Wicaksono, Adi dan Mikke Susanto, et al., ed., Aspek-aspek Seni Visual Indonesia Paradigma dan Pasar Yogyakarta Yayasan Seni Cemeti, 2003, 106. 14. Seni lukis klasik berkembang hampir di seluruh wilayah Bali. Gaya lukis seperti ini berkembang terutama di desa Kamasan, Klungkung sekitar abad XV, dan mendapatkan masa keemasan pada saat pemerintahan Dalem Watu Renggong. Oleh karena seni lukis di wilayah ini dianggap A RS Jurnal Seni Rupa & Desain 15Nomor XV / Januari - April 2012Pita Maha Koalisi’ Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modernpengawal signikan dari seni lukis tradisional Bali, maka ia sering dikategorikan sebagai seni lukis Agus Dermawan T., Bali Bravo Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 tahun Jakarta Panitia Bali Bangkit, 2007, M. Agus Burhan, “Seni Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950 – 1979 Kontinuitas dan Perubahan”. Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mei 2002, Jean Couteau, 2003, Adrian Vickers, Bali A Paradise Created Singapura Periplus Editions, 1996, Periksa Miquel Covarrubias, Island of Bali Singapore Periplus Editions, 1973. 20. Jean Couteau, 2003, Adrian Vickers, 1996, Jean Couteau, 2003, Lebih lengkapnya periksa Jean Couteau, 2003, Agus Dermawan .T, 2007, Agus Dermawan T., “Pita Prada Empat Puluh Tahun Setelah Pita Maha” dalam Agus Dermawan T., ed., Pita Prada Golden Creativity Bienle Seni Lukis Tradisional Bali Pertama Jakarta Panitia Bali Bangkit, 2009, Alvin. “Recent eories of Social Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Bosko, ed., Sociology and History. London e Free Press of Glencoe, M. Agus. “Seni Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950–1979 Kontinuitas dan Perubahan”. Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mei Jean “Wacana Seni Rupa Bali Modern”, dalam Wicaksono, Adi dan Mikke Susanto, et al., ed., Aspek-aspek Seni Visual Indonesia Paradigma dan Pasar. Yogyakarta Yayasan Seni Cemeti, Miquel. Island of Bali. Singapore Periplus Editions, T., Agus. Bali Bravo Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 tahun. Jakarta Panitia Bali Bangkit, 2007. ___,ed. Pita Prada Golden Creativity Bienle Seni Lukis Tradisional Bali Pertama. Jakarta Panitia Bali Bangkit, Joseph.“Persoalan-persoalan dan Kenyataan-kenyataan dalam Kesenian Bali Modern”. dalam Joseph Fischer. Modern Indonesian Art ree Generation of Tradition and Change 1945-1990. Jakarta and New York Panitia Pameran KIAS 1990-91 and Festival of Indonesia, Timbul. Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta ISI Solo Press, “ Sekilas Tentang Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tradisional di Jawa Studi Kasus Seni Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa”, dalam Timbul Haryono, ed., Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu. Jakarta Wedatama Widya Sastra, Willian A. Antropologi, jilid. 2, terj. Sukadijo. Jakarta Erlangga, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. terj. Soedarsono. Bandung MSPI, I Made. Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar Proyek Sasana Budaya Bali, 1977/ Suteja. Pengantar Koleksi Lukisan Museum Neka. Ubud Bali Yayasan Dharma Seni Museum Neka, dan Garrett Kam. e Development of Painting in Bali. Ubud Bali Yayasan Dharma Seni Museum Neka, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Edisi ketiga yang diperluas. Yogyakarta Gadjah Mada University Press, Eka dan Nunung Nurdjanti “ Vibrasi Seni Lukis Kamasan”. Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 Adrian. Bali A Paradise Created. Singapura Periplus Editions, Wiyoso. “Seni Rupa Klasik”. dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al. ed. Perjalanan Seni rupa Indonesia Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991. Arya SucitraIn making a contemporary work of art, takes creativity and awareness of locality values, traditional visual elements by taking a visualization of the past and present in socio-cultural discourse. The material object of the creation of this painting will develop the decorative elements of the Kamasan classical painting of Balinese tradition, with exploration in an alternative medium of fine art that is using three-dimensional of an organic object media, is buffalo skulls. The representations of works tend to be ornamental, adapting the character of shapes, and the philosophical content of Classical Kamasan paintings. Strategies for developing ornamental designs are carried out as part of adaptation to the development of global art. The Intrinsic ornamental variety development model that emphasizes of distillation, transformed, distorted and develops ornamental variety with extrinsic powers, namely the value of meaning or symbolic. The implementation of elements of tradition with alternative art media becomes part of the dynamics of cultural development that has the opportunity to process, change, enrich and transform the work of art in accordance with the times. Visualization of this tradition often appears in the visual form of signs or markers in contemporary art. The exploration and implementation of the Kamasan Classic Balinese painting with buffalo skull is expected to provide an enrichment of the visuality of traditional artifacts in Indonesian contemporary paintings. ABSTRAK Dalam pembuatan suatu karya seni kontemporer dibutuhkan suatu kreativitas dan kesadaran akan nilai-nilai lokalitas, elemen visual tradisional dengan mengambil visualisasi masa lalu dan masa kini dalam wacana sosial budaya. Objek material penciptaan lukisan ini akan mengembangkan unsur dekoratif dari lukisan tradisi klasik Bali Kamasan, dengan eksplorasi pelukisan pada media alternatif seni rupa yakni menggunakan media objek tiga dimensi organik yakni tengkorak kepala kerbau. Representasi karya cenderung bercorak ornamentik, mengadaptasi karakter bentuk, dan kandungan filosofis dari lukisan Klasik Kamasan. Strategi pengembangan ragam hias dilakukan sebagai bagian adaptasi terhadap perkembangan seni rupa global. Model pengembangan ragam hias secara Intrinsik lebih mengedepankan pada proses distilasi, ditransformasi, didistorsi maupun mengembangkan ragam hias dengan kekuatan ekstrinsik yaitu nilai makna atau simbolis. Implementasi elemen tradisi dengan media seni alternatif menjadi bagian dinamika perkembangan kebudayaan yang berpeluang untuk mengolah, merubah, memperkaya maupun proses transformasi karya seni sesuai dengan perkembangan zaman. Visualisasi tradisi ini seringkali muncul dalam bentuk visual tanda-tanda ataupun penanda pada karya-karya seni kontemporer. Eksplorasi dan implementasi lukisan Klasik Bali Kamasan dengan media lukis tengkorak kepala kerbau diharapkan dapat memberikan pengayaan visualitas artefak tradisi pada karya-karya seni lukis kontemporer reflection provides an understanding of all the activities of various components of the work of human works as a related entity in a network with one another. Language, myth, religion, and art and artists as human creators are not unrelated, but rather integrated into a single bond. I Nyoman Sukari as an artist, has a pluralistic and multicultural variety of artistic achievements bringing all the charm, experience, mystery, stories, mythology of Bali and Java inherent in his body, mind, and soul. The philosophical issues in Sukari's paintings are full of Balinese locality values and their multicultural nature; religiosity, mythology, history, scale, tradition art, cross-culture, and contemporary or globalization issues become more complex and multi-layered in aesthetic and metaphysical terms. In this article, I will investigate and study with a hermeneutic-metaphysical approach; what is the nature of the art for I Nyoman Sukari, how far the basic principles of Hindu aesthetics reflect in his art, how Sukari understands the world of metaphysics and then interprets all inner and worldly issues Sekala-niskala, how to negate Hindu-Balinese philosophy and the contemporary world to give birth the narratives of spirituality through painting with metaphors and symbolizations. Keywords Metaphysics, Painting, Hindu-Balinese Philosophy, Aesthetics, Pertunjukan Indonesia di Era GlobalisasiR M Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Edisi ketiga yang diperluas Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2002, HoltMelacak Jejak Perkembangan Seni Di IndonesiaTerj R M SoedarsonoClaire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. Soedarsono Bandung MSPI, 2000, 242, baca lebih lanjut pada bab 7 mengenai Seni Plastis Bali Tradisi Dalam Theories of Social ChangePustaka BoskoffPustaka Boskoff, Alvin. "Recent Theories of Social Change" dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History. London The Free Press of Glencoe, A Haviland. R AntropologiSukadijoWillian A. Haviland, Antropologi, jilid. 2, terj. Sukadijo Jakarta Erlangga, 1988, Seni Lukis KamasanEka Suprihadi Dan NunungNurdjantiEka Suprihadi dan Nunung Nurdjanti " Vibrasi Seni Lukis Kamasan", Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 2006, Rupa Klasik" dalam Moctar Kusuma-AtmadjaWiyoso YudoseputroWiyoso Yudoseputro, "Seni Rupa Klasik" dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al., ed., Perjalanan Seni rupa Indonesia Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991, Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern pengawal signifikan dari seni lukis tradisional Bali, maka ia sering dikategorikan sebagai seni lukis klasikPita MahaKoalisiPita Maha 'Koalisi' Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern pengawal signifikan dari seni lukis tradisional Bali, maka ia sering dikategorikan sebagai seni lukis VickersBali A ParadiseCreatedAdrian Vickers, Bali A Paradise Created Singapura Periplus Editions, 1996, Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950-1979 Kontinuitas dan PerubahanM BurhanAgusBurhan, M. Agus. "Seni Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950-1979 Kontinuitas dan Perubahan". Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mei Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi SeniTimbul HaryonoHaryono, Timbul. Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta ISI Solo Press, 2008.
2 CIRI-CIRI Adapun beberapa ciri bangunan ataupun karya seni aliran klasikisme antara lain : a. dibuat - buat dan berlebihan b. indah dan molek 1 f c. dekoratif d. generalisme ( lazim dan umum ) e. kemegahan f. idealisme dan homosentris g. rasio menjadi titik tolak seni h. berkaitan dengan perasaan seseorang i. mendambakan yang sangat1. ALIRAN KLASIKISME Adalah aliran pemikiran yang muncul di Eropa yang ditandai dengan gaya arsitektur klasik Eropa sekitar tahun 3000 SM jaman Yunani sampai abad ke – 17 dan 18 Jaman Barok dan Rokoko dan aliran ini memberi pengaruh kuat kepada kebudayaan saat itu secara keseluruhan. Pengulangan gaya arsitektur yang dimulai pada abad ke – 18 di Eropa membuktikan bahwa arsitektur klasik masih diminati dan dianggap sebagai karya bermutu tinggi, sehingga gaya arsitektur baru pada jaman itu seakan tenggelam karena tidak memiliki ciri kuat jika dibanding dengan gaya aliran klasikisme. Pengulangan gaya arsitektur klasik secara utuh atau dominan disebut dengan Neo-klasikisme. Dengan kata lain, Neoklasik adalah gaya arsitektur klasik yang dimunculkan kembali sesudah jaman klasik meskipun dengan konstruksi, material dan kadang fungsi yang berbeda, hal ini disebabkan karena kebutuhan orang akan bangunan dan teknologi yang semakin maju. Adapun beberapa ciri bangunan ataupun karya seni aliran klasikisme antara lain a. dibuat – buat dan berlebihan b. indah dan molek c. dekoratif d. generalisme lazim dan umum e. kemegahan f. idealisme dan homosentris g. rasio menjadi titik tolak seni h. berkaitan dengan perasaan seseorang i. mendambakan yang sangat harmonis j. berusaha memikat hati Tokoh – tokoh yang berperan penting dalam aliran klasikisme dan neo-klasikisme adalah a. Girodet b. Michelangelo c. Leonardo Da Vinci d. Raphael e. Jacques Louis David Watten f. Vigeelebrum g. Jan Ingres Di Indonesia, aliran neo – klasikisme pertama kali muncul pada masa kolonialisasi Belanda. Akan tetapi penerapan arsitektur klasiknya tidak sama persis dengan kaidah arsitektur klasik Eropa, hal ini disebabkan penyesuaian iklim di Indonesia yang tidak sama dengan Eropa. Lukisan karya Leonardo Da Vinci Lukisan karya Michelangelo Lukisan karya Girodet 2. ALIRAN REALISME Adalah aliran yang berusaha untuk menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari – hari tanpa adanya tambahan embel – embel atau interpretasi tertentu. Aliran ini bermula di Perancis pad pertengahan abad ke – 19. Namun sebenarnya karya dengan ide realisme sebenarnya sudah ada pada 2400 SM yang ditemukan di Kota Lothal sekarang India Realisme menjadi terkenal sebagai gerakan kebudayaan di Perancis, sebagai reaksi terhadap paham romantisme, yang lebih dulu mapan. Gerakan ini berhubungan erat dengan perjuangan sosial, reformasi politik dan demokrasi. Pada tahun 1840 hingga 1880, aliran realisme mendominasi seni rupa dan sastra di Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Seniman – seniman realis yang terkenal adalah Gustave Courbet dan Jean Francois Millet. Ciri – ciri dari aliran realisme adalah a. Berusaha menampilkan kehidupan sehari – hari dari karakter, suasana, dilema dan objek Verisimilitude b. Mengabaikan drama – drama teaterikal c. Mengabaikan subjek – subjek yang tampil dalam ruang yang terlalu luas dan bentuk – bentuk klasik d. Jujur dan tidak ada manipulasi e. Menolak idealisme Lukisan karya Jean Francois Millet Lukisan karya Gustave Courbet Sumber Gaya bangunan… , Cheviano Eduardo Alputila, FIB UI, 2009
Senirupa 2 dimensi adalah karya seni rupa yang memiliki batas dua sisi, yaitu sisi panjang dan sisi lebar. Seni rupa 2 dimensi tidak memiliki ruang karena tidak memiliki ketebalan atau ketinggian. Contoh karya seni rupa 2 dimensi dalam kehidupan sehari - hari bisa di lihat pada dekorasi dinding. Teknik - teknik Seni Rupa 2 Dimensi Ilustrasi lukisan minyak. © - Macam-macam garis memang kerap dituangkan ke dalam sebuah seni rupa yang pada nantinya akan menjadi sebuah karya. Namun terkadang masih banyak orang yang tidak memahami apa sebenarnya arti dari garis di dalam sebuah karya seni rupa. Tak hanya memiliki arti dan definisinya sendiri, ternyata garis juga mempunyai macam dan jenis yang cukup beragam. Salah satu fungsi dari garis adalah sebenarnya untuk menambah keindahan karya seni dan membuatnya terlihat sempurna. Garis sebenarnya adalah sekumpulan titik yang letaknya sejajar dan sama besar serta dideretkan sehingga terbentuk dimensi memanjang yang menonjol memiliki arah. Dimensi ini menghasilkan macam bentuk, mulai dari panjang, pendek, halus, tebal, melengkung, lurus dan masih banyak lagi. Berikut adalah macam-macam garis dalam seni rupa untuk Anda pahami yang berhasil dirangkum dari beragam sumber, Senin 1/8.2 dari 5 halaman Macam-Macam Garis dalam Seni Rupa Garis Diagonal Macam-Macam garis dalam seni rupa yang pertama ialah garis diagonal. Diagonal itu merupakan garis lurus yang miring ke kanan atau ke kiri. Garis-garis diagonal ini memberikan kesan sesuatu yang tidak stabil, bergerak maupun dinamis. Sedangkan garis diagonal atau garis miring ke arah kanan atau kiri merupakan garis yang menganalogikan orang yang lari serta kuda meloncat, serta pohon yang doyong dan lain sebagainya. Garis Horizontal Macam-Macam garis selanjutnya ialah garis horizontal yang merupakan garis dengan tampilan lurus mendatar. Garis horizontal atau lebih dikenal dengan garis mendatar lebih cenderung kepada aosiasi sebuah cakrawala laut mendatar, juga pohon yang tumbang, orang yang tidur atau mati juga berbagai gambaran benda lain yang mendatar pula. Garis ini karakternya tenang dan kemantapan. Garis Vertikal Macam-Macam garis berikutnya adalah vertikal yang berarti garis lurus tegak dan berikutnya makna dari garis vertikal ialah garis tegak yang menganalogikan benda yang berdiri dengan tegak serta lurus sebagaimana batang pohon, tugu, orang yang berdiri dan lain sebagainya. Garis itu kesannya ialah keadaan yang tak bergerak dan melesat menusuk ke arah langit. Garis Zig-Zag Macam-Macam garis Zig-Zag juga merupakan salah satu jenis garis yang ada di dalam seni rupa. Model garis itu mirip dengan ngaris lurus yang dibuat dengan arah berlawanan kemudian disambungkan kembali. Arti dan makna dari garis Zig-Zag sebenarnya menggambarkan kegembiraan, keceriaan dan sesuatu yang intens dan bisa juga bermakna gairah dan semangat yang membara. Garis Lengkung Garis lengkung ialah garis dengan arah membelok dan garis tersebut dari tiga macam yaitu garis lengkung besar busur, lengkung kubah dan lengkung mengapung. Untuk makna dan kesan dari garis lengkung yang yang memberi kesan keanggunan, luwes dan halus. Namun bisa juga melambangkan ketidakpastian. Garis Gabungan Garis gabungan ialah kombinasi dua atau lebih jenis garis dalam seni rupa. Untuk model garis biasanya membentuk struktur garis yang lebih kompleks. Garis Berombak Garis yang selanjutnya adalah garis berombak merupakan yang masuk dalam kategori garis majemuk berupa lengkungan-lengkungan dan saling berkesinambungan. Garis ini terkadang juga disebut dengan garis lengkungan S yang kerap kali menggambarkan irama dan pergerakan. 3 dari 5 halaman Macam-Macam Garis di Bidang Gambar Teknik Garis Kontinu Tebal Garis kontinu tebal itu sejenis garis yang digunaan sebagai garis nyata, garis-garis suatu objek dan garis-garis tepi. Garis Setrip Titik Tebal Selanjutnya adalah garis setrip titik tebal yaitu sejenis garis yang dipakai untuk garis penunjuk permukaan dalam objek yang memerlukan penanganan khusus. Garis Kontinu Tipis Garis kontinu tipis ialah garis yang dipakai untuk garis bantu, ukur, petunjuk, khayal, sumbu pendek dan juga garis-garis arsir. Garis Putus-putus Garis putus-putus merupakan jenis garis yang mempunyai fungsi sebagai garis objek maupun garis tepi yang terhalang. Garis Setrip Titik Tebal Garis setrip titik tebal ialah sejenis garis yang dipakai garis penunjuk permukaan dalam objek yang memerlukan penanganan khusus. Garis Setrip Titik Tipis Garis setrip titik tipis ialah jenis garis yang dipakai untuk garis lintasan, garis bumbu, garis simetri. Jika garis ini dipertebal bagian ujung dan belokannya, maka fungsinya berganti menjadi garis bidang potong. Garis Kontinu Bebas Garis kontinu bebas atau tipis adalah garis yang dipakai untuk pembatas pada bagian objek yang dipotong-potong. Garis Setrip Titik dengan Titik Ganda Garis setrip titik dengan titik ganda memiliki beberapa kegunaan, antaranya yakni untuk penunjuk bagian yang berdampingan bagi batas-batas kedudukan objek yang dinamis atau bergerak serta untuk garis pada batang profilnya. 4 dari 5 halaman Definisi Garis Garis adalah bentuk perpaduan dari sejumlah titik yang letaknya sejajar dan sama sebenarnya besar. Garis sendiri memiliki dimensi yang bentuknya memanjang serta memiliki arah. Ia bisa berbentuk pendek, tebal, panjang, halus, berombak, lurus melengkung dan lain sebagainya. Hal itu yang telah menjadi ukuran garis serta untuk garis sendiri tidaklah ditandai dengan sentimenter. Namun menggunakan ukuran yang sifatnya nisbi, yang dimaksud dengan ukuran yang sifatnya nisbi. Yang dimaksud dengan ukuran nisbi ialah meliputi tinggi, rendah, panjang, pendek, besar, tebal, kecil dan juga tipis. Sedangkan untuk arah dari garis ada tiga macam, yaitu horizontal, vertikal dan juga diagonal. Meski garis sendiri bisa berbentuk melengkung, acak ataupun bergerigi. Sebagai unsur suatu karya seni, garis sendiri memang sangatlah dominan, sementara fungsi dari garis sendri itu bisa Anda sejajar dengan peran dari warna ataupun tekstur, bahkan juga bisa membentuk suatu karakter tertentu serta watak pembuatnya. 5 dari 5 halaman Proses Pembentukan Garis Setelah mengetahui pengertian dari garis, berikutnya akan dibahas tentang proses dari pembentukan garis. Garis adalah suatu pola yang bentukannya dari titik yang dipanjangkan. Dalam bahasa konseptualnya, garis memiliki panjang akan tetapi tidak memiliki kedalaman dan lebar. Apabila suatu titik menjadi statis dengan alamiah, maka suatu garis akan mampu mengekspresikan pergerakan, arah serta pertumbuhan, visual dalam memberi gambaran jalur pergerakan suatu titik. Yang berarti garis adalah hasil dari sebuah goresan yang dikenal nyata atau kalifagri. [bil]